Thursday, September 18, 2008

Keturunan?

Baru aja dikasih tau temen soal film Indo baru, judulnya "Kita Punya Bendera". Bercerita tentang seorang anak keturunan Tionghoa yang mengalami semacam 'krisis identitas'. Terutama waktu disuruh ngisi formulir dan di dalemnya ditanya soal 'Keturunan'.

Buat lebih jelasnya silakan liat trailernya di sini dan baca reviewnya di sini dan di sini.

Gua sendiri ngalemin hal yang sama kaya' Timmy. Ga di Indo... ga di Sg... pertanyaan ini selalu ditanyain. Dan gua sampe sekarang kadang suka bingung mo jawab apa. 'Krisis identitas' nih :)

Waktu sekolah, sering banget disuruh ngisi formulir yg nanyain soal suku/etnis/keturunan, gua kadang mikir dulu mo jawab apa. Pengennya sih jawab "Sunda", soalnya gua lahir & besar di Bandung, SD-SMP belajar bahasa Sunda, di rumah pun pake Sunda, ngobrol sama beberapa temen pun pake Sunda, ga pernah pake Mandarin. Tapi... kalo gua jawab Sunda, pasti ntar heboh dan dipanggil guru. Hehe... Lagipula orang Sunda nya juga emang mau ngakuin gua sebagai bagian dari mereka? :p

Waktu di Sg... Pas interview gua suka ditanya, "Are you Indonesian?".

Ya gua jawab "Yes."

Tapi biasanya si penanya bakal nanya lagi, "You mean... Indonesia-Indonesian?"

Kalo dah gini gua bakal mengernyitkan dahi. Berhenti sebentar. Udah pengen banget ngomong, "Maksud loe !?! Ambigu banget. Apa maksudnya 'Indonesia-Indonesian'? Bahasanya ga sophisticated banget si! Bilang aja native ato indigenous!"

Tapi biasanya dengan sabar gua bakal jawab, "Errmm... I'm Indonesian"

"Chinese-Indonesian?" (biasanya sambil ikut2an mengernyitkan dahi dan nadanya mulai hati2)

"Well... some people refer as that, but I prefer to be referred as 'Indonesian'"

"But you are Chinese descendant, rite?" 

Duuhhhh... ni orang ngotot banget! Ya udah, gua jawab, "Yes." 

Baru mereka menunjukkan tampang lega karena dah dapet jawaban.

Dan gua jadi bete :(

Another case, waktu gua di Imigrasi Sg, waktu pengurusan Permanent Resident. Petugasnya bilang kalo gua harus ngisi pilihan soal ras. Gua tanya pilihannya ada apa aja. Dia kasih liat di layar komputernya. Ada Chinese, Hokkien, Indian, Malay, dll.

Terus gua tanya, "Do you have 'Indonesian' as a choice?"

Si petugasnya, dan juga seorang staff penyedia jasa imigrasi yang nemenin gua ke kantor imigrasi, masang tampang bingung. 

"Ermm... No." kata petugasnya.

"Okay then... Chinese."

Kasus terakhir yang gua alemin tuh sekitar 2 minggu lalu waktu gua pergi sama sahabat karib gua di Jakarta nemenin dia ke rumah ortu cowonya. *I know...it's kinda weird, but I have to go there :)* Pacarnya sahabat gua tuh orang Batak.

Waktu di rumahnya, gua diajak ngobrol sama bokapnya cowonya temen gua. 

"Ade' namanya siapa?"

"Ita, Om."

"Kristen?"

"Iya, Om."

"Ahh... bagus... bagus... Kita itu punya satu Tuhan. Ga peduli Batak, ga peduli Manado, semuanya satu di hadapan Kristus."

"Bener, Om."

Lalu si Om cerita2 sedikit soal rumahnya. Ga lama kemudian Om nanya lagi, "Ade orang apa?"

"Lahir di Bandung, Om"

"O.. orang apa ya?" 

Baru ngeh ternyata si Om nanya soal suku.

"Ermm... Sunda, Om."

"Hah! Orang Sunda? Ga ada orang Sunda yang putih kaya' gini."

"Err... keturunan Tionghoa, Om."

"O.. ya.. pantes.. pantes.. keturunan ya.."

Haha! Si Om emang lucu. Ternyata beliau penasaran juga. Dan mungkin nganggep gua orang Manado (yg katanya kulitnya putih)

What an experience! Dipikir2... nekat juga gua jawab Sunda :p 

Well.. yg jelas gua personally masih bingung. Gua tau faktanya kalo gua keturunan Tionghoa. Tapi diliat dari kehidupan gua sehari2, ga bisa dibilang Tionghoa juga. Lebih keliatan Sunda daripada Tionghoa. 

Kalo mo jujur, dalam opini pribadi gua, istilah "Chinese-Indonesian" (C-I) itu seharusnya dihapus. Istilah pembentuk tembok pemisah kaya' gitu, menurut gua, ga usah ada lah.

Yah... tapi memang hal kaya' gitu ga memungkinkan. Kehidupan berbangsa & bernegara itu ada aturannya sendiri. Scholar2 juga masih memerlukan istilah C-I dalam research2 yang mereka jalani tentang relasi & proses asimilasi C-I dengan pribumi.

Kalo ditilik2, istilah C-I emang agak riskan karena sejarahnya juga. Sebenernya akar permasalahan dimulai dari masa penjajahan Belanda dimana penjajah menetapkan pemisahan menjadi 3 strata: strata paling tinggi adalah Belanda & keturunannya, di bawahnya adalah Timur Asing (Chinese termasuk di sini), di bawahnya lagi pribumi (pri). Chinese (C) diberi hak mengurus segala hal berbau bisnis/perdagangan dan orang pri mengurus pemerintahan. C dikasih perumahan tersendiri yang terpisah. Jelas asimilasi jadi sulit. Dan karena ngurus perdagangan, C jadi lebih banyak duit, lebih makmur daripada pri. Apakah ini bisa dibilang adil?

Lanjut... jelas pri pengen juga banyak duit donk, dan satu2nya hal yang bisa mereka bisa pake sebagai 'alat' cari duit adalah kedudukan mereka sebagai pejabat pemerintahan. Mereka punya otoritas mengatur peraturan & perijinan dagang.

Bayangin... C punya duit, pri punya kedudukan... ada yang bisa dibarter donk... ada simbiosis mutualisme... dan di situ dimulailah yang namanya korupsi... C kasih duit, pri 'meloloskan'/'mempermudah'...

Jelas waktu itu mereka belon mengenal istilah 'korupsi'. Buat mereka, praktek itu merupakan praktek yang wajar dan, bahayanya, jadi mendarah daging. 

Bayangin apa yang udah diwariskan oleh penjajahan Belanda terhadap kehidupan sosial Indonesia. Pengkotak-kotakan etnis dan korupsi. Warisan yang, menurut gua, sangat buruk. Apa mo kita pertahanin warisan yang kaya begini? 

Kembali ke soal keturunan. Masih banyak hal yang harus gua 'beresin' soal persepsi gua terhadap latar belakang gua. Tapi yang jelas, kalo gua ditanya, gua ga bakal bilang kalo gua C-I, kecuali terpaksa banget. "Indonesia" aja udah cukup.

Hidup Indonesia satu! :)

5 comments:

steven purba said...

hi,
tulisannya menarik! bisa jadi cerita sendiri.

Unknown said...

Hi Ita,
menarik tulisannya=) cuma ada komentar dikit, tidak ada ras yang bernamakan indonesia, karena itu adalah kebangsaan. Jadi klo ditanya ras, kita itu mmg chinese, ga bisa dipungkiri.

Baik orang Batak maupun Sunda, bila ditanyakan suku mereka apa, mereka akan dengan bangga menjawab batak ataupun Sunda. Jadi kita jangan mpe enggan apalagi malu menjawab kita itu tionghwa - kita itu ga ada bedanya dengan mereka. Jadi tionghwa jangan mpe jadi Sunda.

Dan sebagai sesama Indonesian Chinese juga.. mmg bnr sih rada bingung identitas kita. Namun kita harus memegang prinsip bahwa tionghwa adalah bagian yang tidak bisa dihapus dari diri kita juga.

Dan kita memiliki budaya selayaknya Jawa, Dayak dsb, namun budaya teserbut lah yang harus kita pertahankan jangan dilunturkan di dalam nama Indonesia. Karena Indonesia melalui Bhinneka Tunggal Ika nya pada hakikatnya ingin menghargai budaya setiap individu. Jadi perlu ada "boundary" untuk nasionalisme yang maya itu sndri juga.

Mungkin kita perlu memainkan beberapa peran di "drama" sosial ini. Mempertahankan budaya tionghwa dalam satu bangsa, satu wadah, Indonesia=)

Salam,
Antony
marchsoliloquy.blogspot.com
PPI-S (Usaha)

steven purba said...

setuju

Ita said...

@Antony:
Yup, ada benernya. Dan saya rasa itu juga pesen yang ingin disampaikan dari film KPB.

Saya pikir, kenyataan bahwa saya keturunan Tionghoa memang ga bisa dipungkiri atau diubah. Dan dalam dokumen2 pasti akan tertera seperti itu.

Dan setuju juga dengan Antony kalo memang masalah identitas Chinese-Indonesia memang rada (agak) membingungkan. Juga kompleks. Mungkin saya kasih sedikit gambaran dari pengamatan dan pengalaman pribadi.

Pertama, diliat dari asal katanya, China & Indonesia, ada 2 negara yang terpisah dan berbeda yang sampai saat ini masih eksis. Di sini nasionalisme kenegaraan menjadi sedikit rancu.
Sebagai contoh, pemakaian term "orang Cina" di Indonesia jadi sedikit ambigu.
WNI bersuku Jawa ga terlalu masalah kalo dipanggil "orang Jawa". Tapi seorang WNI dipanggil "orang China"? Masalahnya jadi lain.

Kedua, soal mempertahankan budaya. Budaya apa yang harus dipertahankan oleh C-I? Apakah itu berarti C-I HARUS mengenal & mempertahankan budaya China?
Untuk beberapa C-I di wilayah2 Indonesia tertentu, ga jadi masalah untuk mempertahankan budaya China, karena mereka sehari2 berbahasa Mandarin dan kehidupan sehari2nya sangat kental diwarnai kebudayaan China.
Tapi... buat saya yang 20 taun lebih tinggal di Bandung, yang dari sejak TK diperkenalkan dengan budaya Sunda, tentu saya lebih familiar dengan budaya Sunda (kebaya, angklung, lagu2 tradisional Sunda) dan lebih tertarik berbahasa Sunda. Bahasa Sunda saya *meski cuma Sunda kasar :)* jelas jauh lebih fasih dari bahasa Mandarin. Tentu ga salah bukan kalo saya lebih memiliki keinginan untuk mempertahankan budaya Sunda dibanding budaya China?

Btw, memang ga ada jawaban hitam putih buat isu ini, apalagi setiap kita juga membawa identitas2 lain. Satu orang akan pasti memegang beberapa identitas(citizenship, ethnicity, religion)

Tapi yang pasti, kita semua sepakat, ada satu identitas yang ga perlu dibingungkan, satu identitas yang menyatukan kita, yaitu identitas sebagai orang Indonesia ;)

Duh, jadi pengen cepet2 Hari Sumpah Pemuda :)

Unknown said...

Hi Ita=)
Senang bisa punya teman untuk mendiskusikan hal ini..=) Setuju dengan Ita :p mungkin kata "orang Cina" harus dihapus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mengingat kita berbangsa satu, Indonesia. Kita itu orang Indonesia.

Kita perlu menggunakan kata "orang Tionghwa" - note: cina adalah negara namun tionghwa adalah darah yang mengalir di diri kita, selayaknya Sunda pada orang Sunda.

Jadi aku pikir, budaya yang merupakan identitas sejati kita adalah satu hal yang tidak bisa dikompromikan oleh nasionalisme yang merupakan produk "imajinatif" politik.

Malah aku pikir, tugas kita sebagai pemuda Indonesia keturunan tionghwa untuk mempelajari dan menghargai budaya nenek moyang kita untuk merefleksikan Indonesia yang sejati - Bhinneka Tunggal Ika. Karena di dalam Indonesia, ada yang namanya suku tionghwa dan kita tidak akan bisa untuk mengganti suku kita menjadi Sunda, Batak, Dayak, dsb.

Dan pertanyaan ita: "apakah kita harus mempertahankan budaya cina". Jawaban saya, iya dan wajib.

Sebagai kesimpulannya: bukan karena cina mempraktekkan budaya tionghwa, kita jadi tidak boleh mempraktekkan budaya tionghwa. Tujuan dibentuknya bangsa Indonesia tidak pernah kearah tersebut. Dan apabila Indonesia dibentuk untuk hal tersebut, percaya atau tidak, akan tercipta perpecahan kronis - nanti sabtu klo ada wkt, kita ngobrol lbh byk...=)

Hahahhaha... jadi ga sabar juga nih haru Sumpah Pemuda nya...=)