Monday, February 22, 2010

Respon

Hari ini saya menerima email di Inbox yang berisi begini:

"Anonymous has left a new comment on your post "Selamat Tahun Baru Cina (atau Tiongkok?)":

"loe selalu bilang loe orang indonesia, orang sunda dengan bangganya. Pertanyaannya: apa org indo n org sunda nganggep loe bagian dari mereka? Sadly gua bilang, mereka akan sll anggap loe Cina. Kalo loe ngotot loe bangga jadi org indo/sunda, gua cuma bilang kasian deh loe karena loe kaya jatuh cinta bertepuk sebelah tangan. A chinese who don't know their true identity is.. just sad.. "

Untuk anonymous, ini komentar saya terhadap komentar kamu. Persiapkan pikiran dan hatimu :)

Saya baru saja menjadi penggemar
Socratic methodology. Mentor saya mengajarkan metodologi ini sebagai salah satu metodologi yang dipakai agar saya bisa memahami hal-hal terdalam dari segala hal.
Dari namanya, bisa diliat kalo kata itu berasal dari nama salah satu filsuf ternama, yakni Socrates. Metodologi itu jika disingkat adalah: menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Sebenernya metodologi ini ga bisa dipake untuk sembarang orang. Dengan orang yang saya kenal selewat saja, saya ga akan pake metode ini. Tapi komentar Anda benar-benar menggelitik saya untuk mengaplikasikannya pada Anda. Kenapa? Karena metode ini akan mempersingkat jawaban saya. Jujur kalo saya harus menjawab dengan jawaban yang proper, akan sangat panjang dan makan waktu.

Komentar kamu:
"loe selalu bilang loe orang indonesia, orang sunda dengan bangganya. Pertanyaannya: apa org indo n org sunda nganggep loe bagian dari mereka? Sadly gua bilang, mereka akan sll anggap loe Cina."
Respon saya:
-Apa kamu menganggap diri kamu orang Cina? Kalau ya kamu menganggap diri kamu orang Cina, saya mau bertanya balik, apakah orang Cina dari Tiongkok menganggap kamu bagian dari mereka?
-Apa kamu pernah tau
diagram Venn? Kalo kamu baca blog post saya baik-baik, terutama bagian terakhir, kamu akan mengerti dasar pola pikir saya.
-The ultimate question: Sebegitu pentingkah apa yang orang lain anggap tentang diri kita? Apakah hidup dan identitas kita diatur oleh pandangan-pandangan atau anggapan-anggapan atau penerimaan orang lain terhadap kita?
Share pengalaman pribadi (yang berguna untuk pemikiran lebih lanjut):
-Bos saya di pekerjaan yang dulu adalah warga negara Singapura. Mamanya etnis India, papanya etnis Cina. Dalam salah satu pembicaraan tentang etnis, saya pernah bertanya pada dia, "So, what do you consider yourself?". "Singaporean. That's it."
-Di kantor saya sekarang, ada seorang wanita A warga negara Singapura etnis Cina dan ada seorang pria B yang warga negara Tiongkok. Percaya atau tidak, sang wanita A pernah marah-marah sampai lempar-lempar barang pada sang pria B sebagai ekspresi kekesalan karena sang pria B mengolok-ngolok warga negara Singapura. "Orang Singapura begini... begitu...". (satu Cinakah?)
Senior Manager C, yang warga negara Singapura etnis India, tidak ada di tempat kejadian. Kemudian C memanggil A untuk menanyakan apa yang terjadi. A menjelaskan duduk perkaranya. Selesai A bercerita, C berkata, "Saya ngerti kenapa kamu kesal. Kalau saya berada di posisi kamu, saya juga akan merasa kesal." (satu Singapurakah?)
-Baru saja saya alami sore tadi! *saya tidak pernah percaya pada sebuah kebetulan*
Entah Anda tau atau tidak, saya di sini bekerja mengajar pembantu rumah tangga Indonesia. Pada saat tadi saya mengajar, saya tidak sengaja mengeluarkan logat Sunda. Kemudian mereka kaget dan bertanya,"Lho, koq logatnya seperti Sunda?".
Saya jawab, "Saya orang Bandung."
Reaksi mereka, "Wah, saya kira orang Cina! Ternyata Sunda."
Saya jawab, "Saya keturunan Cina".
Mereka mengangguk-angguk saja. Dan semenjak momen itu mereka jadi sering nyeletuk bahasa Sunda pada saya. Ada satu momen dimana salah satu kolega Indo saya datang ke kelas menanyakan sesuatu. Saya jawab, "Ga ada." Murid-murid saya tiba-tiba nyeletuk "Teu aya" (bahasa Sunda). Saya, murid-murid itu, dan kolega saya tertawa bersama-sama. Dan tentu saja, ini membuat suasana menjadi tambah akrab.
Bahasa Sunda saya ga fasih koq, saya hanya bisa bahasa Sunda kasar (sedangkan yang baik adalah bahasa Sunda halus)
Oya, ngomong-ngomong soal bahasa, saya punya pertanyaan:
Do you believe in one universal language called 'love'?
Learn this language, and you will be able to communicate with anyone. Believe me.
Saya punya beberapa pengalaman yang bisa saya bagiin soal ini. Saya ada rencana akan membuat satu blog post berjudul "Love as the Universal Language" yang didasarkan atas
1 Korintus 13. berdasarkan pengalaman saya pribadi. Mudah2an bisa terealisasi. Hehe..

Komentar kamu:
"Kalo loe ngotot loe bangga jadi org indo/sunda, gua cuma bilang kasian deh loe karena loe kaya jatuh cinta bertepuk sebelah tangan."
Respon saya:
-"Jatuh cinta bertepuk sebelah tangan"... Analogi yang menarik.. tapi kembali lagi ke pertanyaan soal cinta: Apa sih definisi cinta sejati menurut kamu? Apakah cinta itu pamrih? Apakah cinta itu mengharapkan balasan? Apakah cinta akan membuat kita sakit?

Komentar kamu:
"A chinese who don't know their true identity is.. just sad.."

Respon saya:
"A man that doesn't know his/her true identity... needs help..."

Pertanyaan:
-Apakah identitas kita hanya ditentukan oleh etnisitas?
-Dimanakah kita bisa mencari identitas diri kita yang sejati? Melalui etnisitas kitakah? Melalui ilmu psikologikah? Melalui Sang Penciptakah?

One more question: Apa kamu pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan dengan orang Sunda atau orang Indonesia non-Chinese? Saya pernah. Kamu bisa baca pengalaman saya di sini. Dan saya bersyukur atas pengalaman ini, karena ini adalah salah satu proses pembelajaran dalam hidup saya. Saya belajar banyak dari pengalaman keluarga saya di-persecute orang lain.

Akhir kata:
Buat saya, identitas saya di dunia bukanlah yang terpenting.
Saya percaya akan kehidupan setelah kematian. Kehidupan itu akan jauuhhhhhh lebih panjang daripada kehidupan kita di dunia (karena dalam kekekalan). Dan saya percaya ada dua alternatif dalam kehidupan setelah kematian, Sorga atau neraka.
Saya percaya bahwa saya adalah warga negara Indonesia dan warga negara Sorga. Menjadi warga negara Indonesia adalah hal yang penting, tapi menjadi warga negara Sorga adalah yang terpenting. Mengapa? Karena yang satu itu bersifat sementara. Saya bisa saja berpindah kewarganegaraan jadi warga negara Singapura atau apapun. Tapi yang satu lagi bersifat kekal (tidak bisa diubah untuk selamanya).
Pertanyaannya: Mana identitas yang lebih penting untuk dicari kebenarannya? Yang sementara atau yang kekal? Sudahkah Anda yakin jika setelah meninggal Anda akan menjadi warga negara Sorga?

11 comments:

Anonymous said...

hey there.. gw lagi browsing2 eee gw baca blog loe. Menarik2..Hmmmm gw juga mo comment donks. Jadi pas gw baca comment tu org ama blog loe, gw kok liat kynya gw nangkep omongan tuh org ama reply loe itu beda sasaran yah? Gw rasa seh tuh org ksh comment gtoh karena blog loe yg sebelum2nya tuh agak kesannya ngjlekin etnis die. Padahal kan loe ama die kan sama aja etnisnya gtuh. Jd mgkn die mrasa loe itu ga tau diri (sorri bukan maksud gw kasar, tp itu yg kesannya gw nangkep), soalnya loe ama die sama etnis tp loe malah ngetawain etnis loe sndiri gtoh. Dan soal yg cinta itu pamrih, mnurut gw yah, mgkn yg dimaksud tuh org lbih ke arah sakit hatinya jatuh cinta bukannya soal butuh balasan ato ga. Well.. ga tau bner ga ya, tp itu seh yg gw tangkap pas baca, mgkn loe nangkepnya beda ama gw haha. Gw plg ngrasa ga nyambung pas loe jwb prtanyaan trakhir, soalnya kok ujung2nya loe malah bandingin warga negara dunia ama sorga yah? Gw ga tau tuh org sama kyakinannya ama loe ato ga, yg pasti gw sih mikirnya tuh org dah sakit ati banget krn etnis die dijlek2in. Kalo gw sih mikirnya gini (pndapat gw yah) kan loe bilang yg penting WN Sorga, bukan dunia. Gw sih stuju, tp kynya sikap kita jg ga bole jlek2in etnis org. Itu kan sama kaya misal gw bilang yang penting proses blajar di sekola, bukan buku plajaran. Tapi kan ga brarti gw bisa enak2 ngerusak buku temen gw gtoh. Yah.. itu seh yg gw rasa. Sorri ya klo ada kaat2 yg ngga enak di ati loe.Peace man.. gw cm comment doank kok hehe. Gw seh cinta perdamaian walo mgkn kite beda etnis tapi kalian kan sesama etnis,jd ya jangan berantem deh, ntar kaya yg loe bilang, sesama cina kok ga nyatu (sebnernya yah, ga perlu sesama -etnis- ga nyatu, karena sesama manusia juga susah tuh nyatunya)

Anonymous said...

halo. aku uda beberapa hari ini mampir ke blog kamu. lumayan menarik sih, terus waktu aku baca postinganmu yang ini, aku jadi pengen komentar, boleh dong ya.. Jadi gini, aku sih setuju ama pendapat kamu kalau yang penting itu bukan soal etnis-etnisan. Tapi harus aku akui juga kalau mungkin pemicu si anonim kasih komentar gitu itu karena postingan kamu yang sebelumnya agak-agak sensitif gitu deh topiknya. Lagian link yang kamu kirim itu isinya kok kaya ngejelekin etnis tertentu gitu. Saran aku sih ya damai aja deh damai, itu si anonim ga perlu ditanggapi. Dia mungkin tersinggung (lagian kamu juga ngaku kan kalau posting kamu itu agak nyinggung, kamu kan bilang "Maap kalo ada pihak-pihak yang tersinggung :p"). Terus untuk kedepannya saran aku sih kalau kamu emang ga mau dicap sebagai cina, ya uda kamu kemana-mana bilang aja kamu orang indo. Kalau ada yang anggap kamu cina, bilang aja kamu ada turunan, tapi jangan sekali-kali ngejelekin cina, soalnya itu kaya orang indo asli yang ngejelekin indo, kamu pasti ngerti perasaannya kan ya? mungkin kamu pikir mereka ga tau diri dsb. Yah itulah yang mereka pikirkan terhadap kamu kalau kamu ngaku kamu ada turunan cina tapi jelekin cina gitu loh. Ok. keep writing (tapi jangan yang ngandung unsur SARA deh.. damai damai, lagian aku jadi males baca kalo isinya SARA mulu)

Janicelees said...

wow, excellent response Ita! :). salut.

Ita said...

Bingung gimana responnya, soalnya semuanya Anonymous. Haha..
Buat comment Anonymous yg Feb 23, 2010, 12:05pm
Thanks buat masukannya.
Yup2, saya rasa ada salah paham jg. Apa elu pikir gua ngetawain etnis gua? Gua tu tertawa karena membaca isi blognya salah satu blogger favorit gua, bukan ngetawain etnis gua. Gua rasa gua udah bilang dengan jelas di blog gua soal ini.
Anyway, tentang tertawa, let me quote one of my favourite writer:
"Being able to laugh at yourself and your situation helps to keep you balanced when you have made a mistake or when things fall apart. Laughter isn't an escape from reality; it's evidence that we understand reality and can cope with it. A merry heart is still a good medicine (Proverb 17:22)A cheerful heart is good medicine, but a crushed spirit dries up the bones." -WWW-
Daripada kesel/marah karena baca blog dia, lebih baik ketawa :)

Soal pertanyaan terakhir sih.. Yah.. gua mau bilang aja kalo ada isu yang lebih penting daripada ngomongin etnis ato kewarganegaraan. Itu aja.

Ita said...

@Anonymous yang comment
February 23, 2010 12:56 PM

Sebagian komen kamu udah saya jawab di atas.
DULU saya memang krisis identitas, tapi kalo kamu baca post terakhir-terakhir dari blog saya, kamu bisa ngerti kalo saya udah ga dalam kebingungan lagi.
Kemana-mana saya selalu bilang saya orang Indo. Kalo mereka nanya lebih jauh, saya juga akan jawab saya "Chinese-Indonesian". Tapi mereka selalu nanya lagi, "Bisa bahasa Mandarin ga?". "Ga bisa. Bisanya bahasa Indonesia dan bahasa daerah, yaitu Sunda".

Saya menghargai saran kamu untuk tidak membahas SARA lagi. Saya ngerti kamu bermaksud baik. Tapi maapppppppp banget ya... sepertinya saya ga bisa ikut saran kamu.
Karena buat saya pribadi, perdamaian yang dicapai dengan menghindari pembicaraan soal SARA adalah perdamaian yang palsu. Saya membedakan antara manajemen konflik dengan resolusi konflik. Manajemen konflik itu seperti jamannya Soeharto: ada konflik, tapi ditutup-tutupi, di luar terlihat damai, tetapi sekali dipicu bisa meledak (kasus 1998 dll). Manajemen konflik itu seperti menyapu kotoran ke bawah karpet. Dari luar si kotorannya ga keliatan, tapi sekali karpet diangkat, bisa terlihat jelas.
Sedangkan resolusi konflik itu adalah dengan menghadapi permasalahan yang ada. Seperti contoh kasus penghapusan apartheid di Afrika Selatan di bawah pimpinan Nelson Mandela. Ada keterbukaan, ada keterusterangan (meskipun menyakitkan), tapi akhirnya berujung pada rekonsiliasi.
Maap ya kalo menyinggung.. tapi inilah gua dan pendapat gua. Jujur aja, gua adalah pencinta damai (phlegmatik personality). Tapi semenjak gua ngerti konsep manajemen konflik dan resolusi konflik, gua jadi sadar, buat apa damai tapi kalo hanya di permukaan aja. Gua rindu setiap orang mengalami perdamaian yang sejati. Meskipun itu artinya harus melalui PROSES yang menyakitkan dan melukai, karena PROSES itu penting. Kalo memang prosesnya bisa berjalan damai, kenapa tidak? Tapi kalo prosesnya harus melewati keterbukaan yang menyakitkan, saya rasa itu lebih berharga untuk dihadapi.
Saya respek sama blogger itu, karena dia membicarakan SARA dengan humor. Kalo kamu baca terus semuanya (hingga semua commentnya), kamu akan ngerti, kalo dia bukan menjelek-jelekkan etnis tertentu. Dia membicarakan dengan terus terang (banyak kasus2 nyata), tapi ditambah dengan bumbu humor. Setidaknya itu pendapat saya.

Janicelees said...

Thanks Ita for your response. it's good, especially in regards to conflict management and resolution. very thorough. Thanks also to anonymous. I actually learned a lot from all of your comments and posts. Thanks everyone.

Anne said...

Well I didn't read your post in detail so my understanding is very rough (my Indo not that good ya). Please allow me share some of my thoughts here... I believe both of your point of views have your own reasons. In my opinion, it is mainly important to identify ourselves as child of God, citizen of heaven as we have committed ourselves to Christ. However, we also should accept ourselves for who we are, and to know, learn and appreciate our own cultures, not to make ourselves separate from others or feeling superior, but to understand how the Lord has painted the world with different colors, backgrounds, ethnic groups, way of lives, and how He has shaped each of us uniquely. Being a Chinese descendant and admit self as a Chinese is not something to be ashamed of, and is not to promote tension between ethnic groups or nationalities. I believe in the term "unity in diversity". How boring the world looks like if everyone just look the same and does the same thing! I'm particularly sensitive to this issue because Malaysia is now undergoing the change to abstract "1Malaysia" concept which I believe is trying to make everyone speaks the same language and having the same lifestyle for political or racial benefits.

I'm proud to say that I'm a Chinese not because I'm accepted by China, or feeling particularly superior to other races. But I'm thankful for how we celebrate Chinese New Year and the wisdom behind it: how we place importance in respecting the elderlies, how we have to go home to share reunion dinner with our family members, and how we visit each others homes... I admire the wisdom and beauty of Chinese language and literature, and praise God for how culture and language distinguish us from animals. The wisdom of our ancestors taught us how to prevent and cure sickness, how to communicate and live with each other, how to prepare delicious food, and how to survive in different seasons of life. Maybe you grow up with little or no input of Chinese culture at all due to political restrain, but have you find out what was their (government's) purpose behind their efforts and what have you missed out all these years? Why the older generation of Chinese Indonesians emphasize on speaking and knowing Chinese (including the Christians)? Why in this year the Chinese New Year is so special to them because they can celebrate it openly? Why they still keep their Chinese names? It must be something good that worth keeping and passing on to the next generation instead of giving in to what the current surroundings have to offer.

Peace can come in different forms, it doesn't has to be unification, unity can come in diversity by love, acceptance and respect to each others' skin colors and way of life.

Ita said...

Thanks, janicelees, yang dengan setia mengikuti pembicaraan kita :)
What have you leaned? Share dikit boleh? Hehe..

Ita said...

@Anne: Very wisely said! :D
Wish all the best for Malaysia, too ;)
Btw, I think your Bahasa Indonesia is quite good. I see you could understand the main points of the discussion.
Ayo, lestarikan Bahasa Indonesia! Hahahhaaha!

Janicelees said...

Oh my...this is my second attempt to leave a comment here after my computer just decided to pause its life and leave me all by myself.

Anyway busway, gua juga bingung mulai darimana. gini ye, gua setuju bgt ama Ita yang menyumbangkan brilian idea kalo damai dengan cara tidak pernah membicarakan itu gak menyelesaikan masalah. Lebih baik dua orang yg tidak sependapat, duduk damai, dengan penuh penguasaan diri tetap berusaha terbuka satu dengan lainnya. Ini memang lebih susah, karena perlu 'penguasaan diri', harus ngorbanin ego masing2. Pahit tapi perlu ya.

Di konflik resolution ini gua belajar, karena gua tahunya dan cuma menjalankan konflik management bukan cari resolusi dan rekonsiliasi. dan gua bisa liat kalo rekonsiliasi itu adalah perdamaian sejati. So, next time this is how I should solve conflict. 'Sweep it under the carpet' adalah tindakan melarikan diri dari masalah (isu SARA dalam hal ini). Ini kalo saya lihat dari Anonymous 23 Feb 2010. Nah, kalo komen yang mulai kebawa emosi, itu lebih ke fight response. Flight or fight response dua2nya respons yang kurang bijaksana.

Btw, I was on your shoes anonymous, rasanya pengen marah2 kalo orang ngejelek-jelek kita. Tapi since, gua rada jaim juga malah sekarang tambah malu2 jadi kadang suka menghindar dari perdebatan. So, itulah yang gua belajar dari kalian.

@ Anne: wasnt I accurate in predicting that you can understand 70% indonesian? hebat yach! I like your comment too, with what esther said, celebrating our ethnicity and uniqueness. God has created us that way, its a life calling to be Indo-chinese and whatever else culture that had a share in our life. I am more towards conserving my chineseness since I felt I kinda lost it by the previous government but heck! I like bahasa sunda and jawa too. Batik dan Indo food...kyaaa

Anne said...

@Ita: ahahaha seriously it takes serious effort to read indonesian. I was really guessing esp i gave up on the comment from anonymous lol.

@Lilis: I was inspired by Esther too! haha.

well I remembered one thing said by John Piper: "there is only one race: human race". we are not like animals have different species ya. he was talking on skin colour issues in america, he said that interracial(black and white) marriage does not 'pollute' bloodline but creates a new distinct colour/culture which makes the world more colourful. Same for migration of cultural integration ya. We should not be ashamed for not being 'authentic' chinese or indonesian but we are unique ourselves and being privileged for being able to appreciate and integrate multi cultures in our daily lives. I like batik and indo food too! lol!